Investasi Dana Pensiun

MENGUKUR DAMPAK "OMNIBUS LAW" DI PASAR SAHAM

Tuesday, 03 March 2020

Omnibus law bidang perpajakn telah diajukan ke DPR. Banyak pihak merespons positif, termasuk di lingkungan pasar modal. Ada Optimisme bahwa

beleid ini akan berdampak positif pada saham emiten sejumlah sektor.

Pemerintah telah menyiapkan rumusan omnibus law dengan satu sasaran utama yaitu menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Saat ini

yang sedng dinanti pengesahaanya adalah Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan. Masyarakat pasar modal tampaknya

memberi perhatian besar pada Omnibus Law Perpajakan.

Asumsinya, bila RUU ini telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi Undang-Undang, dampaknya akan terasa di lingkungan pasar modal.

Kebijakan baru ini akan mendatangkan insentif bagi perkembangan dan kinerja Pasar Modal Indonesia.

Salah satu isu penting yang tertuang dalam rumusan omnibus law adalah ketentuan tentang Pajak Penghasilan (Pph). Sesuai rumusan omnibus law,

pemerintah akan menurunkan tarif pajak badan dari 25% saat ini menjadi 22% pada periode 2021-2022 dan menjadi 20% pada tahun 2023.

Khusus perusahaan akan go public, pemerintah memberikan stimulus tambahan berupa pengurangan tarif PPh 3% di bawah tarif pajak badan yang

akan berlaku nanti. Kendati begitu, Kementerian Keuangan mensyaratkan stimulus tambahan hanya berlaku selama 5 tahun sesudah go public.

"Untuk mereka yang go public, PPh-nya akan turun dari 22% menjadi 19% dan yang go public nanti tahun 2023 mereka akan turun dari 20% menjadi

17%, karena turun 3% di bawah tarif," ujar Menteri Keuangan, Sri Mulyani.

Relaksasi bagi pasar modal tidak hanya itu. Masih dalam rangka RUU Omnibus Law Perpajakan, pemerintah, menurut Menkeu, juga akan membuat

penurunan tarif atau pembebasan tarif PPh dividen dalam negeri. Dikatakan Menkeu, dividen yang diterima oleh Wajib Pajak (WP) Badan maupun

orang pribadi akan dibebaskan. Hal ini akan diatur lebih lanjut dalam peraturan-peraturan pemerintah di bawahnya.

Perihal rencana pemerintah tersebut, Bursa Efek Indonesia mengaku telah melakukan diskusi dengan Direktoral Jenderal Pajak. Dikatakan Direktur

Penilaian Perusahaan IGD Nyoman Yetna, dalam pertemuan tersebut, BEI memberikan beberapa masukan terkait pemberian insentif pajak bagi

emiten dan investor.

Menurutnya poin masukan dijadikan pertimbangan pemerintah dalam penyusunan omnibus law. "Saya sudah bertemu dengan DJP untuk

membicarakan omnibus law terkait insentif pajakakan diberikan pemerintah. Masih dalam tahap pembicaraan jadi belum (bisa) disam paikan poin-

poin masukan dari bursa apa saja," ujarnya kepada wartawan, Rabu (4/12/2019).

Sementara bagi warga pasar modal, relaksasi perpajakan bagi perusahaan tercatat di bursa akan berdampak pada meningkatnya animo perusahaan

melakukan initial public offering (IPO). Pandangan ini diungkapkan Wakil Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia, Theo Lekatompessy. Menurutnya,

omnibus law akan membantu emiten dalam meningkatkan kinerja.

"Soal Revisi pajak, bagus, karena di luar pajak resmi, pengusaha juga masih beri sumbangan dan hadapi premanisme. Kita bisa bandingkan tingkat

pajak kita dengan negara ASEAN lainya dan yang GDP per kapita sama dengan Indonesia," ujar Theo.

Kendati begitu, meski semangatnya mendorong masuk investasi asing, Theo mengatakan kebijakan omnibus law harus lebih selektif pada sektor-

sektor tertentu agar tidak semua bidang bisnis nantinya dikuasai asing. “Jangan sampai nantinya justru mematikan perusahaan menengah - kecil dan

mengganggu kedaulatan NKRI," urainya.

Dia mencontohkan, pada sektor transportasi laut yang menyambung kesatuan dari 13.000 pulau-pulau NKRI dari sabang sampai Merauke, harus

dipastikan dalam kendali Indonesia. “Asing sebaiknya hanya boleh beli sahamnya dipasar modal saja," tegasnya. Treatment tersebut menurutnya

juga diberlakukan di Vietnam, Thailand, maupun Filipina.

KINERJA EMITEN

Penerapan omnibus law bagi pelaku pasar tak ubahnya oase di tengah gempuran sentimen negatif, terutama dampakpelambatan ekonomi. Pasalnya

penurunan pajak dinilai membawa dampak positif bagi kinerja emiten dan ujung-ujungnya meningkatkan minat investasi pemodal.

LABA BERSIH EMITEN BERPOTENSI NAIK 17% PADA TAHUN 2021, LEBIH BESAR 3% DARI PROYEKSI AWAL SEBESAR 14%. SELANJUTNYA LABA BERSIH

EMITEN NORMAL PADA 2022 DAN AKAN DAPAT TAMBAHAN PERTUMBUHAN 2% PADA 2023.

Pandangan ini diungkapkan oleh Kepala Riset PT Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji Gustaf. Menurutnya omnibus law berpotensi menambah

pertumbuhan laba bersih emiten sebesar 3%-4% pada tahun 2021. Sebab bukan hanya pemangkasan pajak, emiten juga akan menikmati dampak

positif secara langsung atau tidak langsung terkait kepastian investasi di daerah lapangan kerja, hingga pengembangan UMKM.

Adapun Tim Riset CGS-CIMB Sekuritas Indonesia dalam hasil yang diterbitkan beberapa waktu lalu menyampaikan perhitungan, pemangkasan pajak

berpotensi menambah pertumbuhan laba bersih emiten sebesar 3% pada kinerja tahun 2021 dan 2% pada tahun 2023.

"Laba bersih emiten berpotensi naik 17% pada tahun 2021, lebih besar 3% dari proyeksi awal sebesar 14%. Selanjutnya, laba bersih emiten normal

pada 2022 dan akan dapat tambahan pertumbuhan 2% pada 2023," urai Analis CGS-CIMB Erwan Teguh dan Peter P Sutedja dalam hasil riset tersebut.

CGS-CIMB menguraikan secara rinci emiten-emiten yang akan mendapat berkah kenaikan laba bersih terkait penurunan pajak Badan terdiri dari PT

Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM), PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Unilever Indonesia Tbk

(UNVR), dan PT United Tractors Tbk (UNTR).

Disebutkan, penurunan pajak membuat TLKM berpotensi mendapat tambahan laba bersih sebesar 5,6%, MYOR 4,2%, MNCN 4,2%, UNTR 4,1%, serta

UNVR 4%. Selain itu pemodal diyakini akan mengakumulasi saham-saham yang menawarkan imbal hasil (yield) dividen tinggi seiring penghapusan

pajak dividen emiten.

CGS-CIMB merinci saham-saham yang berpotensi memberikan imbal hasil dividen tinggi terdiri dari PT Total Bangun Persada Tbk (TOTL), PT

Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS), PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), TLKM, dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI).

Adapun saham berkapitalisasi besar seperti Bank Central Asia (BBCA) diprediksi akan memprediksi imbal hasil dividen sebesar 1,2% di 2019, akan

naik menjadi 1,37% pada 2020, dan 1,56% pada 2021. Sementara TLKM diprediksi memberikan imbal hasil dividen 4,06% di 2019, lalu 4,68% di 2020,

dan 5,28% pada 2021. BMRI sebesar 3,77% di 2019, 4,3% di 2020, dan 4,95% pada 2021, sementara HMSP diprediksi sebesar 6% di 2019, 6,3% di 2020,

dan 5,8% di 2021.

Sementara pada emiten sektor properti dan konstruksi menurut CGS-CIMB dikecualikan pada program ini. Selain itu beklum diketahui juga apakah

tambahan insentif pajak 3% perusahaan go public ini juga berlaku terhadap emiten yang telah menikmati pemotongan pajak sebesar 5% atas

ketentuan jumlah saham bereder (free float) minimal 40%.