Investasi Dana Pensiun

MENYONGSONG MARAKNYA PASAR OBLIGASI & SBN 2020

Friday, 20 December 2019

Emisi obligasi korporasi pada tahun 2020 akan tetap marak seiring tren turun suku bunga serta kebutuhan akan refinancing utang. Nilai emisi 2020 diprediksi Rp 158,5 triliun. Perdagangan SBN ritel pun diprediksi makin marak karena dijadwalkan masuk platform perdagangan BursaEfek Indonesia.

Belum lama ini Moody's Investor Service memberi peringatan bahwa laju utang swasta Indonesia, terutama perusahaan pelat merah, tak hanya berisiko bagi perusahaan bersangkutan tetapi juga bagi perekonomian Indonesia. Moody's bahkan menyebut Indonesia dan India termasuk 13 negara di Asia Pasifik yang memiliki risiko gagal bayar tertinggi.

Namun Bank Indonesia tak sepandapat dengan dalil Moody’s tersebut. Menurut BI, utang korporasi Indonesia termasuk BUMN, masih pada taraf bisa dikelola. Alasannya, rasio utang terhadap modal atau debt to equity ratio (DER) relatif aman. "Banyak korporasi melakukan transaksi lindung nilai atau hedging atas utang valasnya untuk menghindari rugi selisih kurs akibat fluktuasi nilai tukar," demikian pernyataan BI.

Direktur Utama Pefinfo Salyadi Saputra mengatakan, Moodys melihat risiko gagal bayar berdasarkan indikasi interest coverage ratio di bawah 2, dengan demikian debt to Ebitda meningkat. Padahal, kata Salyadi, di kalangan perusahaan Indonesia, pembaginya adalah interest expense yang tidak lain adalah beban bunga dikali tingkat suku bunga.

Kemampuan perusahaan Indonesia untuk menghasilkan Ebitda dinilai tidak kalah. Dengan tingkat suku bunga yang relatif terkendali dengan kecenderungan menurun, akan sangat positif bagi emiten penerbit surat utang. Seiring suku bunga rendah, posisi debt to Ebitda akan lebih terkendali dan pengaruhnya pada interest coverage ratio tidak terlampau terasa.

Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Dimas Ardhinugraha mengatakan, seiring tren penurunan suku bunga, para investor akan mencari obligasi-obligasi dengan imbal hasil yang menarik. Investor global akan membidik negara dengan peluang return paling tinggi, termasuk Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia masih akan sangat menarik bagi investor global. Obligasi negara Indonesia saat ini masih menawarkan imbal hasil kisaran 7%. Sedangkan, sebesar 40% dari obligasi pemerintah global menawarkan imbal hasil negatif. “Jadi tentunya Indonesia menawarkan suatu daya tarik tersendiri,” tutur Dimas.

TETAP LIKUID

Usai tahun politik, dunia usaha punya kepastian untuk membuat keputusan bisnis. Momentum tersebut dating bersamaan dengan tren penurunan suku bunga global maupun Indonesia. Indikasi meningkatnya emisi baru obligasi tampak pada paruh kedua tahun ini.

Menurut Head of Economy Research Pefindo Fikri C Perman selain tren penurunan suku bunga dan tuntasnya agende politik, kepentingan refinancing menjadi pemicu maraknya emisi obligasi paruh kedua 2019. “Penerbitan obligasi di 2019 tinggi karena suhu politik sudah dan obligasi jatuh sekitar Rp 115 triliun," ujar Fikri.

Sampai akhir tahun ini, total nilai emisi obligasi korporasi bisa mencapai Rp 135,2 triliun. Jika terealisasi, maka terjadi peningkatan signifikan dibandingtotal emisi obligasi dan sukuk korporasi selama 2018 sebesar Rp 93,35 triliun. Semenara nilai emisi semester pertama 2019 sekitar 54,41 triliun dari 32 perusahaan. Jika target Rp 135,2 triliun tercapai maka terjadi peningkatan pesat pada paruh kedua 2019.

Sampai dengan 31 Oktober 2019, nilai penerbitan obligasi korporasi sudah mencapai Rp 116,25 triliun. Nilai terbesar dari penerbitan sebesar itu didominasi tiga sektor, yakni perusahaan keuangan nonbank Rp 47,84 triliun, perbankan Rp 20,45 triliun dan sector energi menyumbang Rp 11,02 triliun.

Hingga akhir tahun, Pefindo masih mengantongi mandat penerbitan obligasi korporasi senilai Rp 18,28 triliun dari 21 perusahaan. Meski demikian, Pefindo tidak memastikan jadwal penerbitannya, entah akhir tahun ini atau awal tahun depan.

Tren positif paruh kedua 2019 akan berlanjut pada 2020. Berbagai factor strategis sangat mendukung optimism tersebut. Pefindo memperkirakan, total nilai emisi obligasi pada 2020 meningkat 17% menjadi Rp 158,5 triliun dibanding target tahun ini sebesar Rp 135,2 triliun. Jika penurunan suku bunga acuan BI berlanjut, maka pasar surat utang pada 2020, selain marak karena emisi baru, likuiditas transak sinya akan makin meningkat.

Tahun 2020, BI masih punya ruang untuk menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebanyak 50 basis poin lagi. BI pun sudah mem beri indikasi itu sebagai bagian dari bauran kebi jakan bersama pemerintah dan OJK untuk memacu pertumbuhan ekonomi 2020. “ Tahun ini kami memproyeksikan (emisi baru) Rp 135,2 Triliun. Tahun depan sekitar 158,5 triliun,” ujar Fikri C Permana.

Selain kondisi ekonomi yang mendukung, perkiraan emisi baru 2020 akan marak juga karena surat utang yang jatuh tempo akan lebih besar dibanding tahun 2019. Menurut catatan Pefindo surat utang yang akan jatuh tempo 2020 sekitar 126,4 triliun. Momentum bunga rendah akan membuka ruang bagi lembaga keuangan untuk melirik pasar surat utang sebagai solusi likuiditas ketat termasuk kalangan perbankan. "Ketiga banyak pilihan surat utang korporasi, selain obligasi, sukuk dan medium term notes (MTN), ada instrumen yang diterbitkan dan dicari investor sekarang, green bonds,” lanjut Fikri.

SAMPAI AKHIR TAHUN INI, TOTAL NILAI EMISI OBLIGASI KORPORASI BISA MENCAPAI RP 135,2 TRILIUN. JIKA TEREALISASI, MAKA TERJADI PENINGKATAN SIGNIFIKAN DIBANDING TOTAL EMISI OBLIGASI DAN SUKUK KORPORASI SELAMA 2018 SEBESAR RP 93,35 TRILIUN."

PERDAGANGAN SBN

Pemerintahan, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani, sudah mengindikasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ritel masih akan menjadi solusi untuk pembiayaan defisit angaran. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah, menurut Sri Mulyani, akan menerapkan kebijakan fiskal ekspansif untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi seiring tren perlambatan ekonomi global. "Defisit RAPBN tetap dijaga dalam batas aman dan tetap taat dan sesuai dengan peraturan perun dang-undangan dan landasan konstitusi kita," ujar Sri Mulyani kala dengar pendapat dengan wakil rakyat.

Indikasi diberikan pemerintah memberi ruang bagi maraknya perda gangan surat utang, termasuk SBN ritel. Indikasi ini diperkuat oleh hasil kerja pemerintah mengendalikan inflasi pada level cuk up rendah. Hal ini memungkinkan B? untuk melanjutkan penurunan suku bunga acuan hingga level 4,5% dari posisi saat ini 5,0%.

Selain karena didukung inflasi yang terkendali, penurunan suku bunga acuan juga merupakan bagian dari komitmen bank sentral untuk mendorong pertumbuhan aktivitas ekonomi. Hal ini akan membuat daya tarik deposito akan makin menurun sebab ada peluang keuntungan lebih menarik dari perdagangan SBN ritel.

Jika dibandingkan antara bunga yang ditawarkan dengan potongan pajak yang mencapai 20%, maka peluang keuntungan dari deposito makin tipis. SBN bisa menjadi alternatif instrument yang aman untuk menjadi tujuan investasi dengan imbal hasil bisa di atas deposito.

Sampai dengan November 2019, pemerintah berhasil memobilisasi dana sebesar Rp49,78 triliun dari penerbitan SBN ritel atau sekitar 97,26% SBN ritel jatuh tempo di tahun ini sebesar Rp51,2 triliun. Meski berselisih tipis untuk menutup nilai jatuh tempo, namun tetap ada gap cukup jauh dari target emisi tahun ini berkisar Rp60 triliun hingga Rp80 triliun. Meski demikian, nilai mobilisasi dana tahun 2019 lebih tinggi dari capaian pemerintah tahun 2018 sebesar Rp46,01 triliun dari lima kali penerbitan SBN ritel. Capaian itu hanya 81% dari nilai SBN ritel jatuh tempo tahun 2018 sebesar Rp56,8 triliun

Pada 2020, perdagangan SBN ritel ditargetkan bisa live pada sistem perdagangan Bursa Efek Indonesia (BEI). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah mengkonfirmasi, perdagangan pasar sekunder bagi instrumen surat utang atau obligasi akan ditransaksikan melalui platform elektronik. Pemanfaatan platform elektronik milik BEI diharapkan membentuk pasar yang lebih transparan.

Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Loto Srinaita Ginting mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan BEI untuk memastikan kesiapan electronic trading platform (ETP) pada 2020. “Dengan ETP, pembentukan harga lebih transparan, semua pihak yang ikut partisipasi di platform itu bisa tahu harga yang terbentuk," ujarnya.

Direktur Utama BEI, Inarno Djajadi membenarkan bahwa pihaknya sedang menyiapkan platform perdagangan elektronik untuk pasar surat utang. Pengembangan platform tersebut merupakan tindak lanjut terhadap izin yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada BEI sebagai Penyelenggara Pasar Alternatif (PPA). BEI pun telah menunjuk perusahaan asal Inggris, AxeTrading Ltd untuk mengembangkan platform itu.

Inarno mengatakan, pengembangan ETP ini ditargetkan rampung pada kuartal pertama 2020. Platform untuk pasar alternatif tersebut diharapkan bisa mendukung likuiditas dan transparansi harga di pasar sekunder untuk untuk perdagangan Efek Bersifat Utang dan Sukuk (EBUS). Prioritas perdagangan tentu saja Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, atau SBN ritel.