Investasi Dana Pensiun

CERAHNYA INVESTASI OBLIGASI SAAT SUKU BUNGA TURUN

Monday, 02 March 2020

Tahun 2020 di prediksi masih jadi tahun cemerlang bagi pasar obligasi. Suku bunga rendah dan inflasi yang terkendali, membuat obligasi semakin menarik di mata investor.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pernah sangan kesal kepada Gubernur Bank Sentral AS (The Federal Reserves) Jerome Powell yang resmi menjabat sejak 2017. Ia marah karena imbauannya agar the Fed menurunkan Fed Fund rate (FFR) secara drastis tak dituruti. Mantan konglomerat properti itu mendesak The Fed agar memangkas tingkat suku bunga menjadi nol persen. bila perlu hingga posisi negatif seperti yang dilakukan sejumlah bank sentral negara lain. Walau FFR sempat diturunkan, relatif masih jauh dari angka nol persen.

Uangkapan kekesalan Trump dilontarkan sehari sebelum Uni Eropa kembali menetapkan tingkat suku pada level 0%. “The Fed harus menurunkan suku bunga menjadi nol, atau lebih rendah, dan setelah itu kita harus me-refinancing utang," ujar Trump melalui media sosial. “Amerika Serikat harus selalu membayar di angka terendah," lanjutnya.

Sampai saat ini The Fed masih mempertahankan FFR pada posisi 1,5% setelah dipangkas 0,25% pada September 2019. Pemangkasan dilakukan sebagai salah satu langkah mengatasi risiko perlambatan ekonomi. "Kami melakukan langkah ini agar perekonomian tetap kuat," ujar Jerome Powell ketika itu.

Ekonomi global memang menghadapi perlambatan, hal yang mendorong hampir semua bank sentral negara-negara besar harus menekan tingkat suku bunga acuan. Hal ini diikuti oleh nyaris seluruh bank sentral di dunia termasuk Indonesia. Tujuannya memberi stimulus untuk pemulihan ekonomi.

Namun, awal Februari 2020 ini ada kabar positif dari perkembangan perundingan dagang AS - Tiongkok. Negeri Tirai Bambu mengumumkan akan mengurangi setengah tarif impor AS senilai USD75 miliar. Kementerian Keuangan China melakukan pemotongan untuk membalas keputusan

Amerika bulan lalu yang juga melakukan pengurangan setengah tarif produk-produk China senilai USD120 miliar.

Tarif beberapa produk AS akan dipotong dari 10% menjadi 5%, dan dari 5% menjadi 2,5%. Keputusan ini akan berlaku efektif pada 14 Februari 2020.

Keputusan ini dibuat sebagai bagian dari kesepakatan perdagangan fase pertama antara kedua negara. Kesepakatan itu positif bagi pasar karena mengurangi kekawatiran dampak perang dagang AS-China yang menekan pertumbuhan global. Presiden Donald Trump mengatakan perjanjian fase kedua akan tercapai di kemudian hari. Hal ini akan menjadi perhatian pasar setelah wabah virus korona berlalu.

Merespons tren penurunan suku bunga oleh bank sentral dunia, Bank Indonesia telah beberapa kali menurunkan bunga acuan dengan posisi terakhir 5,0%. Seiring inflasi yang terkendali, diharapkan suku bunga acuan kembali turun. Bank Indonesia pun berharap, penurunan suku bunga sejauh ini dapat menggerakkan sektor riil.

Melihat tren penurunan suku bunga acuan, ada optimisme kuat bahwa pasar surat utang akan kembali likud tahun ini, sekaligus jadi alternatif investasi menguntungkan. "Tahun ini memang tahun yang gemilang untuk obligasi, bagus sekali. Rata-rata return obligasi khususnya yang jangka panjang bisa sampai 12%-13%. Dari kupon mereka bisa mendapatkan 6% sampai 7%, dan sisanya capital gain," kata Edward Parlindungan Lubis, Presdir Bahana TCW Investment Management.

Ketidakpastian iklim investasi global ini mengun-ungkan pasar instrumen investasi berbasis surat utang. Obligasi keluaran negara berkembang atau emerging countries, termasuk Surat Utang Negara Indonesia (SUN), memberikan tingkat imbal hasil (yield) yang tinggi dibandingkan yield yang ditawarkan negara maju. Beberapa negara maju bahkan menawarkan yield yang sangat rendah mendekati 0%.

Bolehlah dibandingkan, yield SUN dengan tenor 10 tahun antara emerging country seperti Indonesia dan India dengan negara maju seperti AS dan Jepang. Data Bloomberg per November 2019 menyebutkan yield SUN RI berada pada level 7,05% dan India di level 6,48%. Sementara pada periode yang sama, yield obligasi negara AS dan Jepang masing-masing berada pada level 1,85% dan negatif 0,07%.

Jarak atau spread yang lebar antara negara maju dengan negara berkembang ini, menarik minat investor untuk masuk ke pasar obligasi negara berkembang seperti Indonesia.

Handy Yunianto, Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas meyakini, return investasi di obligasi masih akan memberikan hasil positif hingga

akhir tahun 2020. Melansir data Bloomberg, return investasi obligasi bisa mencapai hampir 14%, dibandingkan dengan return pada saham yang masih minus.

“Kalaupun ada tingkat return di saham pada Desember 2019 itu sedikit," ujarnya saat memaparkan Outlook Obligasi 2020 di Jakarta(19/12).

Handy menyebut, ada tiga kata kunci terkait kinerja surat utang tahun ini. Pertama, higher uncertainty, diikuti Trade War serta ketidakjelasan akhir dari Brexit di Inggris. “Akibatnya pertumbuhan ekonomi dunia melambat. Respons seluruh bank sentral adalah menurunkan suku bunga. Pasar obligasi pun menjadi menarik."

Begitu menariknya yield yang ditawarkan pasar obligasi di Tanah Air, aliran dana asing pun meningkat deras di tahun ini. Per November 2019, dana asing yang masuk ke pasar obligasi negara tercatat sebesar Rp173 triliun, atau hampir empat kalinya dana yang masuk pada full year tahun 2018.

Hal lain yang ikut mendorong asing berbondong-bondong masuk ke obligasi RI adalah rasio exportto GDP Indonesia yang masih rendah. Intinya,

Indonesiasebagai negara domestic driven economy, meskipun men-galami perlambatan, masih menikmati pertumbuhansebesar 5%. Inilah kata

Handy, yang mendasari asing melihat Indonesia sebagai tempat alokasi investasi yangcukup menarik.

YIELD OBLIGASI NEGARA

Sejatinya hampir semua emerging market menikmati capital inflow. Terbesar adalah Brasil diikuti Rusia, Tiongkok dan Indonesia. Mesir menawarkan yield di 18% pada awal tahun 2019, sehingga menerima inflow sebesar US$ 5,1 miliar. Dari pola aliran dana tersebut, penerima inflow terbesar biasanya adalah negara pemberi yield yang relatif tinggi. "Inflows yang masuk ini yield seeker," ujarnya.

Ada sedikit anomali dengan Tiongkok. Pasalnya negeri Tirai Bambu ini hanya menawarkan yield rendah pada kisaran 3,3%, tetapi dana yang masuk mencapai US$ 9,7 miliar. Handy menduga, para investor aktif masuk ke pasar obligasi Tiongkok karena instrumen utang Negeri Tirai Bambu ini bakal

masuk ke Bond Index JP Morgan per Februari 2020. Tampaknya para investor mulai menaruh kepercayaan pada kredibilitas instrumen utang yang diterbitkan Tiongkok, karena akan diawasi oleh JP Morgan.

Belakangan diakui Handy kerap muncul pertanyaan, kapan yield surat utang RI bisa lebih rendah dari angka. Padahal, penurunan yield telah dialami surat utang yang diterbitkan Brasil, Rusia serta Mesir di tahun ini. Penurunan yield tentunya berujung makin rendahnya biaya yang harus dikeluarkan pemerintah.

Sekedar catatan, yield obligasi Brasil pada tahun ini turun 2,4% menjadi 6,8%. Rusia turun dari 8,8% menjadi 6,6%. Sementara Indonesia besaran yield untuk tenor 10 tahun masih di angka 7,1%. Mesir memang masih menawarkan yield tertinggi di angka 14,4%, namun angka ini merupakan penurunan dari yield tahun lalu yang cukup fantastis di angka 18%.

Menurut Handy, sulit turunnya tingkat yield yang diinginkan pasar terhadap obligasi RI berpangkal dari besarnya kepemilikan asing atau non resident, yang sebesar 39% dari total investor. Selain itu, problem tingginya current account deficit (CAD) menekan pemerintah untuk mengabulkan tingkat yield yang tinggi.

"Karena para investor tahu Indonesia membutuhkan capital inflows untuk membiayai current account deficit yang besar, Indonesia membutuhkan aliran dolar masuk, dan salah satu insentif adalah yield yang besar," kata Handy.

Maka, pemerintah punya pekerjaan rumah jika ingin menekan yield obligasi, pertama tentunya menekan CAD, lalu menarik lebih banyak foreign direct investment. Berikutnya meningkatkan partisipasi investor lokal, agar tidak tergantung oleh asing. Tak ketinggalan tentunya pemerintah harus menjaga tingkat inflasi yang rendah, sehingga tetap bisa menciptakan spread atas yield yang menarik.

Meski prospek pasar obligasi 2020 cerah, Handy menyarankan investor untuk menurunkan ekspektasi yield. Investor disebut tidak bisa berekspektasi return lebih tinggi karena tingkat yield tak lagi bisa turun lebih dalam lagi. Menurutnya, yield dari sisi entry-level tahun ini tidak semenarik ketika akhir tahun 2018. “Karena di tahun 2018 starting-nya di angka 8%. Sekarang starting-nya di 7%," ujarnya.

Kendati demikian jika dibandingkan dengan negara-negara emerging market yang tingkat yield-nya sudah turun lebih dalam, Indonesia masih menarik.

Berdasarkan mapping yang dibuat Mandiri Sekuritas, tingkat yield di 7,1% - 7,2% masih tergolong murah, dengan fair value pada kisaran 6,8%. Karena itu terbuka pula peluang tingkat yield obligasi RI mengalami penurunan.

Tentunya dengan dipenuhi sejumlah syarat tersebut, budget deficit harus ditekan makin rendah. Dengan budget deficit yang rendah, supply obligasi dipastikan akan turun. Investor pun akan yakin dengan budget deficit yang rendah maka cita-cita pemerintah untuk menurunkan primary balance deficit menjadi surplusbisa terwujud.

Akibat faktor perlambatan ekonomi, pemerintah harus memperlebar budget deficit. Pasalnya sumber pemasukan kas negara dari beberapa sektor industri berorientasi ekspor saat ini tengah mandeg kehilangan pasar. Setidaknya pemerintah bisa melakukannya dengan menurunkan bunga obligasi, sehingga cost of fund akan turun. "Jadi kalau pemerintah menerbitkan obligasi, bayar bunganya akan lebih murah. Dan ini sudah dilakukan, yield kita dari angka 10%, sekarang tinggal di angka 7%," ujarnya.

Handy juga memperkirakan penerbitan obligasi korporasi masih akan marak selama tahun 2020. Sebagian besar diterbitkan untuk refinancing. Nilai

surat utang negara yang akan jatuh tempo tahun ini diperkirakan mencapai Rp100 triliun. Perbankan serta perusahaan pembiayaan masih akan mendominasi emisi obligasi di tahun depan.

Handy memprediksi emisi obligasi korporasi baru tahun ini akan sedikit melampaui pencapaian new issuance tahun 2019. “Mungkin sekitar Rp 150 triliun," ujarnya.

Maraknya emisi obligasi di 2020 juga diperkirakan akan ditopang oleh proyeksi bahwa BI masih akan melanjutkan kebijakan moneter yang akomodatif dengan memangkas sekali lagi suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,75%.

Pada kesempatan berbeda, Senior Vice President Financial Institution Ratings Division Pefindo, Hendro Utomo memprediksi emisi obligasi di 2020 masih akan ramai. Pefindo memperkirakan, penerbitan obligasi korporasi secara keseluruhan baik BUMN dan swasta di tahun 2020 mencapai Rp 158,5 triliun. Sementara jumlah obligasi jatuh tempo tahun 2020 mencapai Rp 132,1 triliun.

Berdasarkan industri penerbita obligasi akan di dominasi perusahaan pembiayaan dengan porsi 30% atau Rp 39,8 triliun, diikuti perbankan dengan porsi 20% atau Rp 26,8 triliun. Perusahaan pelat merah pun diprediksi akan meningkatkan emisinya di tahun ini, ditengah iklim rendahnya suku

bunga. "Issuance obligasi korporasi BUMN akan naik, kemungkinan cukup besar di 2020 karena BUMN butuh ekspansi," ujar Hendro, di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta (20/12/2019).

Sedikit catatan, issuance obligasi korporasi BUMN per 13 Desember 2019 tercatat Rp 86,5 triliun, naik 44,6%

dibanding tahun sebelumnya.